Kamis, 07 Juli 2011

Keselarasan Dalam Ilmu Kejawen

Sebagian (atau mungkin mayoritas) orang menganggap bahwa ilmu bagi orang Jawa (Tengah) didapat melalui olah rasa dan hanya rasa saja. Tidak ada atau perlu ada penalarannya. Hal ini juga didukung oleh berbagai karya tulis pujangga-pujangga masa lampau yang banyak menggunakan kata yang satu ini. Padahal, anggapan seperti itu tak sepenuhnya benar atau bisa dibilang keliru. Setidaknya itulah pelajaran yang saya dapat dari beberapa orang tua di Jawa Tengah dulu, termasuk dari almarhum orang tua saya.

Semua karya orang-orang jaman dahulu memang dilandasi perolehan rasa. Semua hal harus berawal dari rasa supaya sesuai selera dan bisa dirasakan manfaatnya. Karena itu kesan yang timbul adalah bahwa rasa dianggap paling utama. Memang ada benarnya. Tapi, rasa yang seperti apa? Menurut pengalaman saya hal ini berasal dari pemahaman mereka soal diri manusia dan kaitannya dengan alam semesta.
Dalam pandangan keilmuan Jawa, manusia adalah makhluk multidimensi. Banyak pandangan soal ini dan bila bicara jumlahnya, pendapat mereka bisa berbeda-beda. Tapi, pada prinsipnya sepakat ada tiga dimensi utama, yaitu raga, jiwa, dan sukma. Dalam tiap dimensi wujud manusia relatif tetap sama, dalam arti semua fungsi ada, termasuk penginderaan dan tentunya rasa.
Kata rasa sendiri bagi mereka merujuk kepada rasa dalam dimensi mental atau jiwa. Seperti karya-karya Ki Ageng Suryo Mentaram. Di wilayah “kasunyatan” atau alam nyata disebut hawa, sedangkan di wilayah sukma disebut “rasa sakjeroning rasa” atau rasa di dalam rasa. Rasa di dalam sukma inilah yang dijadikan acuan utama dalam berkarya. Disebut “kawruh” atau biasa diartikan “kaparingan weruh” atau diberi pandangan. Sayangnya, wilayah ini sepertinya belum banyak diteliti oleh para pengamat asing yang menggunakan pendekatan nalar. Padahal, pendapat merekalah yang sering dijadikan rujukan dalam melakukan penilaian. Karena itu, ilmu kejawen secara umum lalu dianggap ilmu yang tidak rasional alias tanpa nalar.
Padahal, menurut pengalaman saya posisi nalar dalam budaya keilmuan jawa (kejawen) juga termasuk faktor paling penting. Tepatnya setelah rasa dalam sukma. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, ada tiga dimensi utama rasa. Sosok manusia yang sejati ada di alam sukma, sedangkan raga hanya kendaraan saja. Rasa di alam nyata yang disebut hawa punya watak-watak kebinatangan. Di sisi lain, rasa di alam sukma cenderung mengarah kepada kebaikan, lebih dekat kepada kebenaran, dan punya sifat-sifat ketuhanan. Sementara itu, posisi jiwa berada di antara dua kubu yang saling tarik-menarik itu, sebagai perantara. Jiwa pada dasarnya *katanya nih* hanya menuruti pihak mana yang paling kuat daya tariknya.
Lebih lanjut soal jiwa, menurut ajaran agama yang saya pahami ada pihak tertentu yang berkepentingan di sini. Konon ia berada di antara dua pihak yang berlawanan. Di antara lelaki dan perempuan, pembeli dan pedagang, gelap dan terang, guru dan murid, dan masih banyak lagi termasuk di antara sukma dan raga. Pihak yang dimaksud adalah setan. Oleh karenanya, sebagian berpendapat di dalam jiwa itulah ruang kerjanya para setan. Masuk dari pintu-pintu yang disebut “hawa sanga” atau sembilan hawa.
Maka, menjaga kebersihan atau kesucian jiwa menjadi perkara yang sangat penting. Di wilayah ini pula letak akal pikiran manusia. Dengan harapan cahaya dari sukma selalu menyinari dan jiwa pun turut bercahaya. Inilah posisi nalar yang diinginkan dalam keilmuan orang Jawa. Sebagai cahaya atau tali yang turut menerangi atau pengendali hawa. Pandangan ini lalu disebut ilmu putih. Sebaliknya, nalar yang lebih condong kepada hawa mengarah kepada pembenaran dan akan membawa kepada kegelapan atau ilmu hitam.
Perlu diketahui bahwa dalam pandangan orang Jawa, urutan awal perolehan ilmu tidak selalu berasal dari sukma. Namun, apa yang mereka inginkan adalah keselarasan ketiga dimensi tersebut. Rasa dalam rasa memang dianggap mendekati kebenaran. Cuma, ia sifatnya personal dan tergantung kepribadian dan wawasan seseorang, jadi masih sulit dipertanggungjawabkan. Di sinilah nalar mulai memainkan perannya. Pikiran diarahkan untuk menjelaskan apa yang sudah didapat dari sukma. Tentunya supaya orang lain pun bisa memahami, merujuk, menyetujui, mendebat, dll.
Sampai di wilayah ini sudah ada interaksi dengan beberapa pihak di luar diri. Tapi, tetap saja masih sebatas wacana dan belum menjadi apa-apa. Masih dibutuhkan sesuatu yang konkret, manifestasi dari pemahaman yang ada di tingkat angan-angan. Bisa ditebak bahwa ilmu tadi harus disesuaikan juga dengan kenyataan. Secara umum terbagi dua, yaitu di wilayah pribadi dan luar pribadi. Penerapan pemahaman pada diri sendiri berwujud sebagai sebuah kepribadian atau budi pekerti, sedangkan di luar itu berupa karya indah yang umumnya disebut seni. Karya-karya dengan prinsip keselarasan seperti ini yang bisa dikatakan ada unsur kebenarannya, sarat makna, dan banyak manfaatnya. Dalam bahasa filsafat sering disebut “rasane, jarene, lan nyatane.” Terjemahan bebasnya: rasanya, katanya, dan nyatanya.
Seperti itulah esensi ajaran-ajaran yang pernah saya terima. Benar atau tidaknya, jangan tanyakan kepada saya. Tanyakan kepada para ahlinya. Ini hanya upaya berbagi saja. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar